Paltibonar Nadeak, lelaki dari desa Tanjung Bunga, tepi Danau Toba,
merantau ke Jakarta untuk meraih sukses. Ia harus berjuang keras
agar bisa kuliah. Di tengah kerasnya tantangan hidup, ia temukan
persahabatan yang indah dan asmara yang menggetarkan dengan Diandra
Narastiti. Sahabat-sahabat dekat dan seorang tantenya sangat
berperan membuka wawasannya. Di tengah ambisinya, acap ia renungi
kriteria "orang sukses." Ia kemudian terjun ke dunia pengacara. Pada
awalnya ia senang, berbagai kasus hukum dikerjakannya. Namun ia
semakin sering mengalami konflik batin karena proses penegakan hukum
ternyata tak seperti bayangannya. Ia dianggap anomali karena tak
mampu menyesuaikan diri. Suatu ketika ia bertemu Rainim, buruh
pabrik yang dipecat karena ikut unjuk rasa, membuat ia masuk ke
persoalan perburuhan. Di sisi lain, jalinan asmaranya dengan Diandra
tak berjalan mulus.
Suatu ketika ia pulang kampung untuk mengikuti upacara adat
Mangongkal Holi; saat itulah disaksikannya ironi dan kontradiksi-
kontradiksi dalam diri manusia Batak, juga kerusakaan lingkungan
hidup di sekitar Danau Toba akibat ditebanginya hutan-hutan pinus
oleh sebuah pabrik pulp & rayon. Ia terpanggil untuk menyelamatkan
ekosistem Danau Toba dengan cara membentuk LSM, sambil bekerja di
sebuah firma hukum modern yang berafiliasi dengan law firm Amerika.
Di firma modern ini, kegelisahannya ternyata tak berhenti, apalagi
dengan sikap keberatan para partners firma atas aktivitasnya yang
gencar menggempur pabrik pulp & rayon itu. Ia dipindahkan ke
Singapura dan menikah dengan Mary Watson, wanita Inggris, yang
dikenalnya di Jakarta; pernikahan yang amat menyedihkan ibunya, yang
senantiasa menuntutnya menikah dengan wanita Batak dari wilayah
Samosir.
Karirnya menanjak cepat di Singapura. Kehidupan yang mapan,
menyenangkan—apalagi sejak kelahiran putranya—terusik dengan
perjumpannya dengan mantan kekasihnya, Diandra. Istrinya tak bisa
menerima "pertemuan" itu, yang mengakibatkan kepergian Mary ke
Inggris. Paltibonar linglung dan akhirnya memutuskan mundur dari
firma—dan kembali ke Jakarta. Saat itu, suhu politik tengah memanas
akibat dipaksakannya kongres PDI untuk menggulingkan ketua umumnya.
Tanpa direncanakan, ia melibatkan diri dalam berbagai aksi dan
demonstrasi, ikut memperjuangkan demokrasi di sebuah panggung orasi.
Dan terjadilah peristiwa "27 Juli 1996" yang berdarah-darah itu.
Sejak itu ia hilang. Segala cara pencarian dilakukan saudara dan
familinya, hasilnya nihil. Ibunya amat menderita, dua tahun lebih
menantikannya. Sebelum kematiannya, terlanjur ia pesankan agar anak
lelakinya itu ikut mengantar jenazahnya ke kuburannya, sebuah Batu
Napir di desa Ronggur Nihuta. Rapat pemuka adat/marga tak bisa
memutuskan hari pemakaman, hingga seorang sepupunya berinisiatif
bertanya pada seorang dukun yang dipercaya bisa memanggil roh
seseorang melalui "Sordam", medium yang bersifat mistik, yang kian
sulit ditemukan akibat larangan keras dari gereja.
Novel multi-tema ini ditulis dengan memadukan prosa dan jurnalisme,
dikerjakan selama dua tahun lebih oleh Suhunan Situmorang, praktisi
hukum cum penulis di Jakarta. Pada saat ini "SORDAM" sedang
menyiapkan cetakan kedua, dan menurut koran Jawa Pos (28 Februari
2006), termasuk buku laris di Surabaya. Barangkali tak terlalu
berlebihan bila di sebut: inilah novel pertama yang membahas
problematiknya manusia Batak, kegelisahan seorang pengacara atas
praktek penegakan hukum di Indonesia, selain persoalan sosial,
politik, dan agama (gereja HKBP). Menurut Luhut MP Pangaribuan SH,
LL.M, dalam pembahasannya saat launching: "Novel ini luar biasa."
di-toengzzz oleh Charly_S, tatkala jam dinding menunjuk angka 10:35merantau ke Jakarta untuk meraih sukses. Ia harus berjuang keras
agar bisa kuliah. Di tengah kerasnya tantangan hidup, ia temukan
persahabatan yang indah dan asmara yang menggetarkan dengan Diandra
Narastiti. Sahabat-sahabat dekat dan seorang tantenya sangat
berperan membuka wawasannya. Di tengah ambisinya, acap ia renungi
kriteria "orang sukses." Ia kemudian terjun ke dunia pengacara. Pada
awalnya ia senang, berbagai kasus hukum dikerjakannya. Namun ia
semakin sering mengalami konflik batin karena proses penegakan hukum
ternyata tak seperti bayangannya. Ia dianggap anomali karena tak
mampu menyesuaikan diri. Suatu ketika ia bertemu Rainim, buruh
pabrik yang dipecat karena ikut unjuk rasa, membuat ia masuk ke
persoalan perburuhan. Di sisi lain, jalinan asmaranya dengan Diandra
tak berjalan mulus.
Suatu ketika ia pulang kampung untuk mengikuti upacara adat
Mangongkal Holi; saat itulah disaksikannya ironi dan kontradiksi-
kontradiksi dalam diri manusia Batak, juga kerusakaan lingkungan
hidup di sekitar Danau Toba akibat ditebanginya hutan-hutan pinus
oleh sebuah pabrik pulp & rayon. Ia terpanggil untuk menyelamatkan
ekosistem Danau Toba dengan cara membentuk LSM, sambil bekerja di
sebuah firma hukum modern yang berafiliasi dengan law firm Amerika.
Di firma modern ini, kegelisahannya ternyata tak berhenti, apalagi
dengan sikap keberatan para partners firma atas aktivitasnya yang
gencar menggempur pabrik pulp & rayon itu. Ia dipindahkan ke
Singapura dan menikah dengan Mary Watson, wanita Inggris, yang
dikenalnya di Jakarta; pernikahan yang amat menyedihkan ibunya, yang
senantiasa menuntutnya menikah dengan wanita Batak dari wilayah
Samosir.
Karirnya menanjak cepat di Singapura. Kehidupan yang mapan,
menyenangkan—apalagi sejak kelahiran putranya—terusik dengan
perjumpannya dengan mantan kekasihnya, Diandra. Istrinya tak bisa
menerima "pertemuan" itu, yang mengakibatkan kepergian Mary ke
Inggris. Paltibonar linglung dan akhirnya memutuskan mundur dari
firma—dan kembali ke Jakarta. Saat itu, suhu politik tengah memanas
akibat dipaksakannya kongres PDI untuk menggulingkan ketua umumnya.
Tanpa direncanakan, ia melibatkan diri dalam berbagai aksi dan
demonstrasi, ikut memperjuangkan demokrasi di sebuah panggung orasi.
Dan terjadilah peristiwa "27 Juli 1996" yang berdarah-darah itu.
Sejak itu ia hilang. Segala cara pencarian dilakukan saudara dan
familinya, hasilnya nihil. Ibunya amat menderita, dua tahun lebih
menantikannya. Sebelum kematiannya, terlanjur ia pesankan agar anak
lelakinya itu ikut mengantar jenazahnya ke kuburannya, sebuah Batu
Napir di desa Ronggur Nihuta. Rapat pemuka adat/marga tak bisa
memutuskan hari pemakaman, hingga seorang sepupunya berinisiatif
bertanya pada seorang dukun yang dipercaya bisa memanggil roh
seseorang melalui "Sordam", medium yang bersifat mistik, yang kian
sulit ditemukan akibat larangan keras dari gereja.
Novel multi-tema ini ditulis dengan memadukan prosa dan jurnalisme,
dikerjakan selama dua tahun lebih oleh Suhunan Situmorang, praktisi
hukum cum penulis di Jakarta. Pada saat ini "SORDAM" sedang
menyiapkan cetakan kedua, dan menurut koran Jawa Pos (28 Februari
2006), termasuk buku laris di Surabaya. Barangkali tak terlalu
berlebihan bila di sebut: inilah novel pertama yang membahas
problematiknya manusia Batak, kegelisahan seorang pengacara atas
praktek penegakan hukum di Indonesia, selain persoalan sosial,
politik, dan agama (gereja HKBP). Menurut Luhut MP Pangaribuan SH,
LL.M, dalam pembahasannya saat launching: "Novel ini luar biasa."
Charly : Ini yang namanya numpang promosi hehehe